Sejarah HomeSchooling
Sejarah
munculnya homeschooling sebagai pemicu faktor lahirnya lembaga alternatif yang
pertama. Filosof berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk
belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara
belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha
menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh
filosof tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan
luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat
anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak
ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh
sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang
hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy
Moore melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak
lebih awal (early childhood education).
Penelitian mereka menunjukkan bahwa masuknya anak-anak pada sekolah formal
sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga
berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena
keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007:21).
Setelah pemikirannya
tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian
menerbitkan karyanya yang lain Instead of
Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orang tua
homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt
menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan
Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling.
Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain
karena alasan, keyakinan pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh
ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Di Indonesia
Perkembangan
homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada
penelitian khusus tentang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan
khazanah relatif baru di Indonesia. Namun, jika dilihat dari konsep homeschooling
sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak,
maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah
Indonesia yang sudah mempraktikan homeschooling, seperti KH. Agus Salim, Ki
Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam pengertian
homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun
1990-an. Misalnya, Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya
dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar
tentang homeschooling. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan.
“Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di
rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai
mengajar anak di rumah pada tahun 2000 (Kompas, 13/03/2005).
Di Indonesia,
baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschooling, seperti Moring Star
Academy, dan lembaga pemerintah, yakni Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM).
Moring Star Academy merupakan lembaga pendidikan Kristen yang berdiri sejak
tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional,
juga membentuk karakter siswanya.
Pusat Kegiatan
Belajar Mengajar (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan
pendidikan jalur informal. Badan penyelenggaraan PKBM sudah ada ratusan di
Indonesia. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (setingkat SD),
Paket B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya
menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya Tutor
mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan
ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Saat ini,
perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap
informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin
banyak pilihan untuk pendidikan anaknya. Di negeri kita ini, konsep sekolah
rumah sudah diterapkan lama oleh sebagian kecil masyarakat kita. Tenggok saja
di pondok-pondok pesantren, para Kiai secara khusus telah mendidik anak-anaknya
sendiri karena merasa lebih megena dan puas bisa mengajarkan ilmu pada putranya
sendiri, daripada sekadar mempercayakan pada orang lain.
Tokoh-tokoh terkenal,
seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka juga mengembangkan
cara belajar dengan system persekolahan di rumah. Metode ini dijalankan bukan
hanya sekedar agar anak didik lulus ujian kemudian mendapat ijazah, namun agar
lebih mencintai dan punya semangat yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang
dipelajari.