Selasa, 11 Desember 2012


 Sejarah HomeSchooling
 
Sejarah munculnya homeschooling sebagai pemicu faktor lahirnya lembaga alternatif yang pertama. Filosof berdirinya sekolah rumah adalah “manusia pada dasarnya makhluk belajar dan senang belajar; kita tidak perlu ditunjukkan bagaimana cara belajar. Yang membunuh kesenangan belajar adalah orang-orang yang berusaha menyelak, mengatur, atau mengontrolnya” (John Cadlwell Holt dalam bukunya How Children Fail, 1964). Dipicu oleh filosof tersebut, pada tahun 1960-an terjadilah perbincangan dan perdebatan luas mengenai pendidikan sekolah dan sistem sekolah. Sebagai guru dan pengamat anak dan pendidikan, Holt mengatakan bahwa kegagalan akademis pada siswa tidak ditentukan oleh kurangnya usaha pada sistem sekolah, tetapi disebabkan oleh sistem sekolah itu sendiri.
Pada waktu yang hampir bersamaan, akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an, Ray dan Dorothy Moore melakukan penelitian mengenai kecenderungan orang tua menyekolahkan anak lebih awal (early childhood education). Penelitian mereka menunjukkan bahwa masuknya anak-anak pada sekolah formal sebelum usia 8-12 tahun bukan hanya tak efektif, tetapi sesungguhnya juga berakibat buruk bagi anak-anak, khususnya anak-anak laki-laki karena keterlambatan kedewasaan mereka (Sumardiono, 2007:21).
Setelah pemikirannya tentang kegagalan sistem sekolah mendapat tanggapan luas, Holt sendiri kemudian menerbitkan karyanya yang lain Instead of Education; Ways to Help People Do Things Better, (1976). Buku ini pun mendapat sambutan hangat dari para orang tua homeschooling di berbagai penjuru Amerika Serikat. Pada tahun 1977, Holt menerbitkan majalah untuk pendidikan di rumah yang diberi nama: Growing Without Schooling.
Serupa dengan Holt, Ray dan Dorothy Moore kemudian menjadi pendukung dan konsultan penting homeschooling. Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan, keyakinan pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah formal.
Di Indonesia
Perkembangan homeschooling di Indonesia belum diketahui secara persis karena belum ada penelitian khusus tentang akar perkembangannya. Istilah homeschooling merupakan khazanah relatif baru di Indonesia. Namun, jika dilihat dari konsep homeschooling sebagai pembelajaran yang tidak berlangsung di sekolah formal alias otodidak, maka sekolah rumah sudah tidak merupakan hal baru. Banyak tokoh-tokoh sejarah Indonesia yang sudah mempraktikan homeschooling, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka (Makalah Dr. Seto Mulyadi, 18 Juni 2006).
Dalam pengertian homeschooling ala Amerika Serikat, sekolah rumah di Indonesia sudah sejak tahun 1990-an. Misalnya, Helen Ongko (44), salah seorang ibu yang mendidik anaknya dengan bersekolah di rumah, sampai harus ke Singapura dan Malaysia mengikuti seminar tentang homeschooling. Dia ingin benar-benar mantap, baru mengambil keputusan. “Kebetulan waktu itu kondisi ekonomi sedang krisis sehingga kami banyak di rumah. Eh, ternyata enak ya belajar bersama di rumah,” kata Helen yang mulai mengajar anak di rumah pada tahun 2000 (Kompas, 13/03/2005).
Di Indonesia, baru beberapa lembaga yang menyelenggarakan homeschooling, seperti Moring Star Academy, dan lembaga pemerintah, yakni Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM). Moring Star Academy merupakan lembaga pendidikan Kristen yang berdiri sejak tahun 2002 dengan tujuan selain memberikan edukasi yang bertaraf internasional, juga membentuk karakter siswanya.
Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) merupakan program pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan jalur informal. Badan penyelenggaraan PKBM sudah ada ratusan di Indonesia. Setiap program PKBM terbagi atas Program Paket A (setingkat SD), Paket B (setingkat SMP), dan Paket C (setingkat SMA). PKBM sebenarnya menyelenggarakan proses pendidikan selama 3 hari di sekolah, selebihnya Tutor mendatangi rumah para murid. Para murid harus mengikuti ujian guna mendapatkan ijazah atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya.
Saat ini, perkembangan homeschooling di Indonesia dipengaruhi oleh akses terhadap informasi yang semakin terbuka dan membuat para orang tua memiliki semakin banyak pilihan untuk pendidikan anaknya. Di negeri kita ini, konsep sekolah rumah sudah diterapkan lama oleh sebagian kecil masyarakat kita. Tenggok saja di pondok-pondok pesantren, para Kiai secara khusus telah mendidik anak-anaknya sendiri karena merasa lebih megena dan puas bisa mengajarkan ilmu pada putranya sendiri, daripada sekadar mempercayakan pada orang lain.
Tokoh-tokoh terkenal, seperti KH. Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, dan Buya Hamka juga mengembangkan cara belajar dengan system persekolahan di rumah. Metode ini dijalankan bukan hanya sekedar agar anak didik lulus ujian kemudian mendapat ijazah, namun agar lebih mencintai dan punya semangat yang tinggi dalam mengembangkan ilmu yang dipelajari.